Kamis, 06 Februari 2014

DALIL SAMPAINYA PAHALA UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL




 


Berikut ini adalah beberapa dalil sampainya Pahala yang menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal dapat beroleh manfaat dari amal orang yang masih hidup:
 1. Firman Allah dalam al qur’an :
وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ
Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)
وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ
“Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa orang-orang mukmin laki dan perempuan.” (QS. Muhammad : 19)
وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ
“dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka,.” (QS, At-Thuur; 21.)
Itulah dalil sampainya pahala dari ayat Al Qur’an yang merupakan firman Allah Swt.
2. Berikut adalah dalil sampainya pahala berdasar Sabda Rasulullah sollallohu ‘alaihi wasallam
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبِي مَاتَ وَتَرَكَ مَالًا وَلَمْ يُوصِ فَهَلْ يُكَفِّرُ عَنْهُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ
Dari Abi Huroiroh ra, “Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah shollallohu ‘alaihi wasallam: ‘Ayah saya meninggal dunia, dan ada meninggalkan harta serta tidak memberi wasiat. Apakah dapat menghapus dosanya bila saya sedekahkan?’ Nabi menjawab: Dapat!” (HR.  Muslim, Ahmad, Ibnu Hibban, Ibnu Huzaimah dan yang lain)
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ
Dari ‘Aisyah istri Nabi saw, “Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulallah shollallohu ‘alaihi wasallam.: ‘Sesungguhnya ibu saya meninggal dunia, dan aku berpendapat jika ia dapat berbicara maka ia akan bersedekah. Apakah aku dapat bersedekah atas namanya?’ Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam. menjawab: Dapat!” (HR. Malik, Ibnu Hibban, Ibnu Huzaimah, An Nasai dan yang lain)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى
Dari Ibnu Abbas –rodhiyallohu ‘anhuma- ia berkata: “Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam: Wahai Rosululloh, sesungguhnya ibu saya meninggal dunia, sedang dia berhutang puasa sebulan, apakah aku dapat mengqodho’ puasa tersebut sebagai ganti dari ibu saya?” “Dapat!” Jawab Nabi.” Hutang kepada Alloh lebih berhak untuk dibayar” lanjut Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam (HR. Bukhari dan yang lain)
قَالَ أَبُو أُسَيْدٍ بَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ هَلْ بَقِيَ عَلَيَّ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ بَعْدَ مَوْتِهِمَا أَبَرُّهُمَا بِهِ قَالَ نَعَمْ خِصَالٌ أَرْبَعَةٌ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَارَحِمَ لَكَ إِلَّا مِنْ قِبَلِهِمَا فَهُوَ الَّذِي بَقِيَ عَلَيْكَ مِنْ بِرِّهِمَا بَعْدَ مَوْتِهِمَا
Abu Usaid berkata : “Suatu ketika aku duduk disisi Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba datang seorang lelaki dari kalangan anshor, ia bertanya : ‘Ya Roasulalloh.. adakah sesuatu yang tersisa buatku berupa amal baktiku kepada kedua orang tua setelah keduanya meninggal’? Rosululloh menjawab : ‘Ya (ada) empat perkara, yakni sholat atas kedua orang tua, memohonkan ampun untuk keduanya, meluluskan janji mereka, menghormati tamu mereka, menyambung famili yang tidak menjadi familimu kecuali dari mereka, itulah perkara-perkara yang tersisa untukmu dari baktimu kepada kedua orang tua setelah kematian mereka.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, At Thobaroni, Al Baihaqi, Al Hakim, Ibnu Majah dan yang lain)
Dan tentunya masih banyak ayat-ayat lain dan juga hadits-hadits Nabi saw yang bisa menjadi dalil sampainya pahala, memberi kesimpulan bahwa mayit dapat beroleh kaemanfaatan kebaikan dari amal orang yang masih hidup. Adapun tentang firman Allah: “dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya”. QS. An Najm : 39, banyak penafsiran dari para mufassirin dan muhadditsin, diantaranya :
-          Ayat tersebut bersifat ‘Am Makhsush (dalil umum yang dibatasi), hal ini setidaknya merupakan pendapat Imam An Nawawi dalam Syarah Muslimnya ketika beliau menjelaskan hadits Sa’d bin ‘Ubadah.
-          Ayat tersebut telah dimansukh (disalin) hukumnya dengan firman Allah QS. At Thur : 21, pendapat ini dinisbatkan sebagai pendapat Ibnu Abbas ra, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Al Khozin dan As Syaikh Fakhruddin ‘Utsman bin Ali Az Zaila’iy dalam kitabnya Bahrur Roiq Syarah Kanzud Daqoiq.
-          Dikatakan : Ayat tersebut berbicara dalam konteks keadilan Allah bukan dalam konteks anugerah dari Alloh.
-          Dikatakan : Ayat tersebut merupakan lanjutan dari ayat-ayat sebelumnya mulai ayat 36, berarti ayat tersebut merupakan isi dari suhuf Nabi Ibrohim dan Nabi Musa ‘alaihimas salam, dan ketetapan ayat tersebut berlaku buat Umat nabi Ibrohim as dan Nabi Musa as.
-          Dikatakan : Ayat tersebut berbicara tentang orang-orang kafir, dan huruf jar ‘Lam’ pada kata Al Insan bermakna ‘Ala.
-          Dll
Pendapat Ulama Dari Masing-Masing Madzhab
  1. 1.      Madzhab Hanafiyyah (Madzhab Imam Abu Hanifah rohimahulloh)
وَمُشْتَمِلَةٌ عَلَى الْبَدَنِ وَالْمَالِ : كَالْحَجِّ ، فَالْمَالِيَّةُ الْمَحْضَةُ تَجُوزُ فِيهَا النِّيَابَةُ عَلَى الْإِطْلَاقِ وَسَوَاءٌ كَانَ مَنْ عَلَيْهِ قَادِرًا عَلَى الْأَدَاءِ بِنَفْسِهِ أَوْ لَا ؛ لِأَنَّ الْوَاجِبَ فِيهَا إخْرَاجُ الْمَالِ وَأَنَّهُ يَحْصُلُ بِفِعْلِ النَّائِبِ ، وَالْبَدَنِيَّةُ الْمَحْضَةُ لَا تَجُوزُ فِيهَا النِّيَابَةُ عَلَى الْإِطْلَاقِ لِقَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ { وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إلَّا مَا سَعَى } إلَّا مَا خُصَّ بِدَلِيلٍ وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {لَا يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَا يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ} أَيْ : فِي حَقِّ الْخُرُوجِ عَنْ الْعُهْدَةِ لَا فِي حَقِّ الثَّوَابِ ، فَإِنَّ مَنْ صَامَ أَوْ صَلَّى أَوْ تَصَدَّقَ وَجَعَلَ ثَوَابَهُ لِغَيْرِهِ مِنْ الْأَمْوَاتِ أَوْ الْأَحْيَاءِ جَازَ وَيَصِلُ ثَوَابُهَا إلَيْهِمْ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ (بدائع الصنائع )
Dan ibadah yang meliputi Diri (badan) dan harta seperti hajji. Adapun ibadah harta murni (zakat, ‘Usyur dll) maka boleh digantikan dalam pelaksanaannya secara muthlaq, baik bagi orang yang mampu melaksanakan sendiri atau tidak mampu, karena yang wajib dalam ibadah tersebut (murni harta) adalah mengeluarkan harta, sedang hal tersebut sudah tercapai dengan dilaksanakan oleh pangganti (Na’ib). Sedangkan ibadah Badaniyyah Mahdhoh (ibadah murni menggunakan badan) maka tidak boleh digantikan dalam pelaksanaannya secara muthlaq berdasar firman Alloh ‘Azza Wa Jalla (“dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” QS. An Najm : 39) kecuali perkara yang dikhususkan oleh dalil, sedangkan sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam: “seseorang tidak dapat berpuasa dan sholat menggantikan orang lain” maksud hadits tersebut adalah Fi Haqqil Khuruj ‘Anil ‘Uhdah (tidak dapat mengeluarkan dari ancaman sebab meninggalkan kewajiban) bukan Fi Haqqits Tsawaab (hak menerima pahala dari orang lain). Dan sesungguhnya barangsiapa berpuasa atau sholat atau sedekah dan menjadikan pahalanya untuk orang lain baik yang sudah meninggal atau yang masih hidup maka hal itu boleh dan pahalanya bisa sampai kepada mereka (orang yang diberi pahala) menurut kalangan ahlus sunnah wal jama’ah.” (Badai’ush Shona-i’, vol. 5, hlm. 235)
وَفِي الْبَحْرِ : مَنْ صَامَ أَوْ صَلَّى أَوْ تَصَدَّقَ وَجَعَلَ ثَوَابَهُ لِغَيْرِهِ مِنْ الْأَمْوَاتِ وَالْأَحْيَاءِ جَازَ ، وَيَصِلُ ثَوَابُهَا إلَيْهِمْ عِنْدَ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ كَذَا فِي الْبَدَائِعِ ، ثُمَّ قَالَ : وَبِهَذَا عُلِمَ أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ الْمَجْعُولُ لَهُ مَيِّتًا أَوْ حَيًّا . وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَنْوِيَ بِهِ عِنْدَ الْفِعْلِ لِلْغَيْرِ أَوْ يَفْعَلَهُ لِنَفْسِهِ ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يَجْعَلُ ثَوَابَهُ لِغَيْرِهِ ، لِإِطْلَاقِ كَلَامِهِمْ ، وَأَنَّهُ لَا فَرْقَ بَيْنَ الْفَرْضِ وَالنَّفَلِ .
Dan dalam kitab Al Bahr : Barang siapa berpuasa atau sholat atau bersedekah dan menjadikan pahalanya untuk orang lain baik orang-orang yang sudah meninggal maupun yang masih hidup maka hal tersebut boleh dan pahalanya bisa sampai kepada mereka (orang yang diberi pahala) menurut kalangan ali sunnah wal jama’ah. Dengan ini dapat diketahui sesungguhnya tidak ada perbedaan keberadaan yang diberi pahala baik orang mati atau yang masih hidup, dan dzohirnya tidak ada perbedaan baik diniatkan ketika melakukan ibadah tersebut atau diniatkan sesudahnya, mengingat muthlaqnya kalam (dawuh) para ulama, dan juga sungguh tidak ada perbedaan antara ibadah fardu dan sunnah”. (Roddul Mukhtar, vol : 6 hal, 405)
  1. 2.      Madzhab Malikiyyah (Madzhab Imam Malik bin Anas rohimahulloh)
 فَأَجَازَهُ بَعْضُهُمْ ) أَيْ وَهُوَ الَّذِي جَرَى بِهِ الْعَمَلُ وَهُوَ مَا عَلَيْهِ الْمُتَأَخِّرُونَ وَقَوْلُهُ : وَكَرِهَهُ بَعْضُهُمْ أَيْ وَهُوَ أَصْلُ الْمَذْهَبِ قَالَ ابْنُ رُشْدٍ مَحَلُّ الْخِلَافِ مَا لَمْ تَخْرُجْ الْقِرَاءَةُ مَخْرَجَ الدُّعَاءِ بِأَنْ يَقُولَ قَبْلَ قِرَاءَتِهِ : اللَّهُمَّ اجْعَلْ ثَوَابَ مَا أَقْرَؤُهُ لِفُلَانٍ ، وَإِلَّا كَانَ الثَّوَابُ لِفُلَانٍ قَوْلًا وَاحِدًا وَجَازَ مِنْ غَيْرِ خِلَافٍ
(Sebagian Ulama membolehkannya) pendapat ini adalah yang berlaku dan menjadi pegangan para ulama mutaakhhirun. Adapun ucapan (mushonnif) tentang sebagian ulama memakruhkan-nya adalah pendapat asal al madzhab (Imam Malik). Ibnu Rusydi berkata : Muara khilaf (dalam hal ini) adalah selama bacaan al qur’an tersebut tidak keluar ke wilayah do’a, seperti seseorang yang berdo’a sebelum membaca al qur’an; “Ya Alloh jadikan pahala apa yang akan aku baca untuk fulan” jika tidak demikian (bacaan al qur’an yang masuk kategori do’a) maka pahalanya sampai pada Fulan (orang yang di hadiahi pahala) dengan pandapat yang satu dan boleh tanpa adanya perbedaan pendapat. (Hasyiyah Ad Dasuqiy ‘Alasy Syarhil Kabir, vol : 5 hal, 298)
( وَ ) فُضِّلَ ( تَطَوُّعُ ) بِضَمِّ الْوَاوِ مُشَدَّدَةً ( وَلِيِّهِ ) أَيْ : عَاصِبِ الْمَيِّتِ كَابْنِهِ وَأَبِيهِ وَكَذَا سَائِرُ الْأَقَارِبِ وَالْأَجَانِبِ ( عَنْهُ ) أَيْ : الْمَيِّتِ وَكَذَا عَنْ الْحَيِّ ( بِغَيْرِهِ ) أَيْ : الْحَجِّ وَمَثَّلَ لِغَيْرِهِ بِقَوْلِهِ ( كَصَدَقَةٍ وَدُعَاءٍ ) وَهَدْيٍ وَعِتْقٍ لِقَبُولِ هَذِهِ النِّيَابَةِ وَالِاتِّفَاقِ عَلَى وُصُولِ ثَوَابِهَا لِلْمَيِّتِ فَالْمُرَادُ غَيْرُ مَخْصُوصٍ ، وَهُوَ مَا يَقْبَلُ النِّيَابَةَ لَا مَا لَا يَقْبَلُهَا كَصَلَاةٍ وَصَوْمٍ وَقِرَاءَةِ قُرْآنٍ وَيُكْرَهُ تَطَوُّعٌ عَنْهُ بِالْحَجِّ .
Dan dianggap utama Tathowwu’ (mengerjakan ibadah sunnah) oleh wali si mati, yakni yang ditinggal si mati, seperti anaknya, bapaknya, dan juga kerabat dekat maupun jauh sebagai ganti dari si mati, begitu juga sebagai ganti dari yang masih hidup, (dengan ibadah) selain berupa hajji. Muallif mencontohkan ibadah selain hajji seperti shodaqoh dan do’a, memberi hadiah, memerdekakan budak karena ibadah-ibadah tsersebut (selain hajji) dapat digantikan oleh orang lain pelaksanaannya, dan telah disepakati sampainya pahala bagi si mayyit, maka yang dikehendaki tidak terbatas, (Ibadah yang pahalanya bisa sampai kepada orang lain) yakni pada ibadah yang bisa digantikan orang lain bukan ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain seperti sholat, puasa dan membaca al qur’an. Dan dimakruhkan ibadah sunnah berupa hajji untuk orang lain. (Minahul Jalil, vol : 4 hal, 165)
  1. 3.      Madzhab Syafi’iyyah (Madzhab Imam As Syafi’iy rohimahulloh)
وَأَمَّا مَا حَكَاهُ أَقْضَى الْقُضَّاةِ أَبُو الْحَسَنِ اَلْمَاوَرْدِى اَلْبَصْرِى اَلْفَقِيْهُ اَلشَّافِعِيّ فِى كِتَابِهِ اَلْحَاوِى عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ الْكَلاَمِ مِنْ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَلْحَقُهُ بَعْدَ مَوْتِهِ ثَوَابٌ فَهُوَ مَذْهَبٌ بَاطِلٌ قَطْعًا وَخَطَأٌ بَيِّنٌ مُخَالِفٌ لِنُصُوْصِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَاِجْمَاعِ الْاُمَّةِ فَلاَ اِلْتِفَاتَ إِلَيْهِ وَلَاتَعْرِيْجَ عَلَيْهِ وَأَمَّا الصَّلاَةُ وَالصَّوْمُ فَمَذْهَبُ الشَّافِعِى وَجَمَاهِيْرُ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُ لَايَصِلُ ثَوَابُهُمَا إِلَى الْمَيِّتِ اِلاَّ اِذَا كَانَ الصَّوْمُ وَاجِبًا عَلَى الْمَيِّتِ فَقَضَاهُ عَنْهُ وَلِيُّهُ أَوْ مَنْ أَذِنَ لَهُ الْوَلِيُّ فَاِنَّ فِيْهِ قَوْلَيْنِ لِلشَّافِعِى أَشْهَرُهُمَا عَنْهُ أَنَّهُ لاَيَصِحُّ وَأَصَحُّهُمَا عِنْدَ مُحَقِّقِى مُتَأَخِّرِى أَصْحَابِهِ أَنَّهُ يَصِحُّ وَسَتَأْتِى الْمَسْأَلَةُ فِى كِتَابِ الصِّيَامِ اِنْ شَاءَ اللهُ تَعاَلَى وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فَالْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِى أَنَّهُ لَايَصِلُ ثَوَابُهَا إِلَى الْمَيِّتِ وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ يَصِلُ ثَوَابُهَا إِلَى الْمَيِّتِ وَذَهَبَ جَمَاعَاتٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّهُ يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ ثَوَابُ جَمِيْعِ الْعِبَادَاتِ مِنَ الصَّلاَةِ وَالصَّوْمِ وَالْقِرَاءَةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ وَفِى صَحِيْحِ الْبُخَارِى فِى بَابِ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ نَذْرٌ أَنَّ بْنَ عُمَرَ أَمَرَ مَنْ مَاتَتْ أُمُّهَا وَعَلَيْهَا صَلاَةٌ أَنْ تُصَلَّى عَنْهَا 
Tentang apa yang diriwayatkan Aqdhol Qudhot Abul hasan Al Mawardi As Syafi’iy dalam kitabnya Al Haawi dari sebagian kalangan ahli kalam, ‘bahwasannya mayit tidak mendapati pahala setelah kematiannya’ adalah madzhab yang bathil secara pasti dan jelas keliru sekaligus menyalahi nash-nash al qur’an dan as sunnah serta menyalahi Ijma’ (konsensus) ummat islam, maka tidak perlu dihiraukan dan tidak perlu menanggapinya. Adapun sholat dan puasa maka madzhab As Syafi’iy dan Jumhur ulama berpendapat bahwa pahala keduanya (sholat dan puasa) tidak dapat sampai kepada mayit, kecuali jika puasa tersebut adalah puasa wajib yang ditinggal mayyit kemudian wali atau orang yang di izini mengqodho’inya sebagai ganti dari mayit. dalam masalah ini ada dua pendapat yang dinisbatkan kepada Imam As Syafi’iy : Pertama, pendapat yang paling populer (masyhur) dari Imam Syafi’iy hal tersebut tidak sah. Sedang yang paling sohih dari dua pendapat beliau menurut para Muhaqqiq Mutaakhhir kalangan Syafi’iyyah hal tersebut (menqodo’ puasanya mayit) adalah sah, dan masalah ini akan dijelaskan nanti pada Kitab As Shiyaam (bab puasa) Insya Alloh. Adapun bacaan al qur’an, maka yang populer dari madzhab Syafi’iy adalah pahalanya tidak sampai kepada mayit, sedang sebagian ulama kalangan Syafi’iyyah berpendapat pahala bacaan al qur’an sampai kepada mayit, dan beberapa kelompok Ulama yang lain berpendapat bahwa semua pahala ibadah berupa sholat, puasa, bacaan al qur’an dan yang lain bisa sampai kepada mayit. dalam Shohih Bukhori -pada bab orang yang meninggal dan masih berhutang Nadzar- (disebutkan) bahwasannya Ibnu Umar memerintahkan seseorang yang ibunya meninggal dan masih berhutang sholat hendaknya orang tersebut melaksanakan sholat sebagai ganti dari ibunya. (Syarhun Nawawi Ala Muslim, vol : 1 hal, 90)
وَسُئِلَ نَفَعَ اللهُ بِهِ كَيْفَ يَدْرِي الْمَيِّتُ بِوُصُولِ الثَّوَابِ له وَهَلْ الْأَنْفَعُ الصَّدَقَةُ أو الْقِرَاءَةُ أو تَسْبِيلُ الْمَاءِ أو الْأَكْلِ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ الْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِنَا عَدَمُ وُصُولِ الْقِرَاءَةِ إلَى الْمَيِّتِ إلَّا إنْ قُرِئَ عَلَى الْقَبْرِ أو بَعِيدًا عَنْهُ بِنِيَّتِهِ وَدَعَا عَقِبَهَا
Imam Ibnu Hajar Al Haitami – semoga Alloh memberi kemanfaatan kepada kita dengan beliau – ditanya tentang : Bagaimana mayit bisa tahu kalau pahala (yang dikirim) sampai kepadanya ? dan manakah yang lebih bermanfaat (untuk mayit) antara shodaqoh atau bacaan al qur’an atau menyediakan air dan makanan untuk para pejalan? Beliau menjawab; Yang masyhur/populer dari madzhab Syafi’iy adalah tidak sampainya pahala bacaan al qur’an untuk mayyit, kecuali jika dibaca disamping kuburnya atau dibaca dari jauh tapi dengan diniatkan pahalanya untuk mayit dan berdo’a setelah membaca al qur’an (agar pahalanya disampaikan kepada mayit.) (Al Fatawaa Al Fiqhiyyah Al Kubro, vol : 2 hal, 9)
وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي وُصُوْلِ ثَوَابِ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، فَالْمَشْهُوْرُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِى وَجَمَاعَةٍ أَنَّهُ لَايَصِلُ وَذَهَبَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَجَمَاعَةٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَجَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِى إِلَى أَنَّهُ يَصِلُ ، وَالْمُخْتَارُ أَنْ يَقُوْلَ بَعْدَ الْقِرَاءَةِ: اَللَّهُمَّ أَوْصِلْ ثَوَابَ مَا قَرَأْتُهُ، والله أعلم اه
Para ulama berbeda pendapat tentang sampainya pahala bacaan al qur’an untuk mayit, yang masyhur dari madzhab Syafi’iy dan sekelompok ulama, sesungguh-nya pahala bacaan al qur’an tidak sampai. Imam Ahmad bin Hanbal dan sekelompok para ulama juga sekelomok dari kalangan Syafi’iyyah berpendapat pahalanya sampai. Pendapat yang dipilih adalah hendaknya orang yang membaca al qur’an berdo’a setelah membaca al qur’an : “Ya Alloh.. Sampaikanlah pahala apa yang aku baca (untuk mayit).”. (Al Majmu’ Syarah Al Muhaddzab, vol : 15 hal, 522)
Para ulama madzhab Syafi’iy sepakat sampainya pahala kepada mayit, khilafiyah (perbedaan pendapat) berkisar pada amal-amal tertentu seperti bacaan al qur’an, sholat, puasa dan yang lain. Dan pendapat yang dipilih oleh kalangan para ulama besar madzhab Syafi’iy adalah semuanya sampai jika diniatkan dan atau dido’akan agar pahalanya disampaikan untuk mayit. Imam An Nawawi dalam Syarah Muslim berkata :
وَلِلشَّافِعِي فِي الْمَسْأَلَةِ قَوْلاَنِ مَشْهُوْرَانِ أَشْهَرُهُمَا لَايُصَامُ عَنْهُ وَلاَيَصِحُّ عَنْ مَيِّتٍ صَوْمٌ أَصْلاً وَالثَّانِي يُسْتَحَبُّ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَصُوْمَ عَنْهُ وَيَصِحُّ صَوْمُهُ عَنْهُ وَيَبْرَأُ بِهِ الْمَيِّتُ وَلاَيَحْتَاجُ إِلَى اِطْعَامٍ عَنْهُ وَهَذَا الْقَوْلُ هُوَ الصَّحِيْحُ الْمُخْتَارُ الَّذِي نَعْتَقِدُهُ وَهُوَ الَّذِي صَحَّحَهُ مُحَقِّقُو أَصْحَابِنَا اَلْجَامِعُوْنَ بَيْنَ الْفِقْهِ وَالْحَدِيْثِ لِهَذِهِ الْأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ الصَّرِيْحَةِ
Imam As Syafi’iy dalam masalah ini memiliki dua pendapat yang sama-sama masyhur. Dan yang paling masyhur (populer) dari keduanya adalah : Orang yang sudah meninggal tidak dapat digantikan puasanya, dan puasa sebagai ganti orang yang telah meninggal samasekali tidak sah. Pendapat kedua menyatakan : Disunnahkan bagi wali si mati untuk berpuasa sebagai ganti dari si mati sedang puasa sebagai ganti dari si mati adalah sah, dan si mati bebas (dari tanggungan puasanya) sebab puasa yang dilakukan oleh walinya,  juga tidak perlu membayar (fidyah) berupa memberi makan. Pendapat inilah yang sohih dan dipilih dan menjadi keyakinan kami, dan pendapat tersebut telah disohihkan oleh para ulama pentahqiq dari kalangan kami (Syafi’iyah), para ulama yang ahli dalam fiqih dan hadits sekaligus, berdasar hadits-hadits (lain) yang sohih dan jelas. (Syarah An Nawawi Ala Muslim, vol. 8, hal.24)
  1. 4.      Madzhab Hanabilah(Madzhab Imam Ahmad Ibn Hanbal rohimahulloh)
قَالَ أَحْمَدُ : الْمَيِّتُ يَصِلُ إلَيْهِ كُلُّ شَيْءٍ مِنْ الْخَيْرِ ، لِلنُّصُوصِ الْوَارِدَةِ فِيهِ وَلِأَنَّ الْمُسْلِمِينَ يَجْتَمِعُونَ فِي كُلِّ مِصْرٍ وَيَقْرَءُونَ وَيَهْدُونَ لِمَوْتَاهُمْ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ فَكَانَ إجْمَاعًا
Imam Ahmad berkata : Setiap sesuatu berupa kebaikan (pahalanya) bisa sampai kepada mayit berdasar nash-nash yang ada, dan juga umat islam yang berkum-pul disetiap kota, dimana mereka membaca al qur’an dan menghadiahkannya untuk orang-orang mati mereka tanpa ada yang mengingkari, maka hal tersebut menjadi Ijma’. (Kasyaful Qinaa’ An Matnil Iqnaa’, vol : 4 hal, 431)
*(مَسْأَلَةٌ)*(وَأَيُّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا وَجَعَلَ ثَوَابَهَا لِلْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ نَفَعَهُ ذَلِكَ) أَمَّا الدُّعَاءُ وَالْاِسْتِغْفَارُ وَالصَّدَقَةُ وَقَضَاءُ الدَّيْنِ وَأَدَاءُ الْوَاجِبَاتِ فَلاَ نَعْلَمُ فِيْهِ خِلاَفاً إِذَا كَانَتْ اَلْوَاجِبَاتُ مِمَّا يَدْخُلُهُ النِّيَابَةُ
(Mas’alah) Dan apapun ibadah yang dilakukan dan pahalanya dijadikan untuk mayit yang muslim maka ibadah tersebut bermanfaat baginya. Sedangkan do’a, istighfar, sodaqoh, membayar hutang, melaksanakan kewajiban, maka kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat para ulama jika kewajiban yang dimak-sud adalah kewajiban yang dapat digantikan pelaksanaannya (oleh orang lain). (As Syarhul Kabir Li Ibni Qudamah, Vol 2 hal, 425)
وَكُلُّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا الْمُسْلِمُ وَجَعَلَ ثَوَابَهَا أَوْ بَعْضَهَا كَالنِّصْفِ وَنَحْوِهِ لِمُسْلِمٍ حَيٍّ أَوْ مَيِّتٍ جَازَ وَنَفَعَهُ لِحُصُوْلِ الثَّوَابِ لَهُ حَتَّى لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مِنْ تَطَوُّعٍ وَوَاجِبٍ تَدْخُلُهُ النِّيَابَةُ: كَحَجٍّ وَنَحْوِهِ أَوْلَا: كَصَلاَةٍ وَدُعَاءٍ وَاسْتِغْفَارٍ وَصَدَقَةٍ وَأُضْحِيَةٍ وَأَدَاءِ دَيْنٍ وَصَوْمٍ وَكَذَا قِرَاءَةٌ وَغَيْرُهَا وَاعْتَبَرَ بَعْضُهُمْ إِذَا نَوَاهُ حَالَ الْفِعْلِ أَوْ قَبْلَهُ وَيُسْتَحَبُّ إِهْدَاءُ ذَلِكَ فَيَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ اجْعَلْ ثَوَابَ كَذَا لِفُلاَنٍ
Dan setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim dan menjadikan keseluruhan atau sebagian pahalnya untuk  muslim yang lain baik yang masih hidup atau sudah meninggal, maka hal tersebut boleh dan manfaat baginya karena (orang yang dihadiahi pahala) mendapat pahala untuknya, meskipun ditujukan kepada Rosululloh sollallohu ‘alaihi wasallam, (kebaikan tersebut bisa) berupa ibadah sunnah atau wajib yang pelaksanaannya bisa digantikan seperti hajji atau semacamnya, atau berupa kewajiban yang pelaksanaannya tidak dapat digantikan seperti solat, do’a, istighfar, sodaqoh, qurban, membayar hutang  puasa, begitu juga membaca al qur’an dan yang lain. Sebagian ulama mengatakan : Sampainya pahala tersebut, jika diniatkan ketika melakukan ibadah tersebut atau sebelumnya. Dan dianjurkan bagi orang yang menghadiah-kan pahala ibadahnya, hendaknya ia berdo’a : “Ya Alloh jadikan pahalanya untuk Fulan”.  (Al Iqna’ Fi Fiqhil Imam Ahmad Ibn Hanbal, vol : 1 hal, 236)
فَصْلٌ .كُلُّ قُرْبَةٍ فَعَلَهَا الْمُسْلِمُ وَجَعَلَ ثَوَابَهَا لِلْمُسْلِمِ نَفَعَهُ ذَلِكَ ، وَحَصَلَ لَهُ الثَّوَابُ ، كَالدُّعَاءِ وَالِاسْتِغْفَارِ وَوَاجِبٍ تَدْخُلُهُ النِّيَابَةُ وَصَدَقَةِ التَّطَوُّعِ وَكَذَا الْعِتْقِ ، ذَكَرَهُ الْقَاضِي وَأَصْحَابُهُ أَصْلًا  
Setiap ibadah yang dilakukan oleh seorang muslim dan pahalanya dijadikan untuk orang islam (yang lain) maka ibadah tersebut bermanfaat baginya dan dia (orang yang dihadiahi) mendapat pahala untuknya.(ibadah tersebut) seperti do’a, istighfar, kewajiban yang dapat digantikan, sodaqoh sunnah, begitu juga memerdekakan budak. Al Qodhi dan As habuh menyebutkan sumbernya. (Al Furuu’, vol : 3 hal, 355)
  1. 5.      Syaikhul Islam Ahmad Ibn Taimiyah
وَسُئِلَ – رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى –
عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى { وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إلَّا مَا سَعَى } وَقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ } فَهَلْ يَقْتَضِي ذَلِكَ إذَا مَاتَ لَا يَصِلُ إلَيْهِ شَيْءٌ مِنْ أَفْعَالِ الْبِرِّ؟
فَأَجَابَ :
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ، لَيْسَ فِي الْآيَةِ وَلَا فِي الْحَدِيثِ أَنَّ الْمَيِّتَ لَا يَنْتَفِعُ بِدُعَاءِ الْخَلْقِ لَهُ وَبِمَا يُعْمَلُ عَنْهُ مِنْ الْبِرِّ بَلْ أَئِمَّةُ الْإِسْلَامِ مُتَّفِقُونَ عَلَى انْتِفَاعِ الْمَيِّتِ بِذَلِكَ وَهَذَا مِمَّا يُعْلَمُ بِالِاضْطِرَارِ مِنْ دِينِ الْإِسْلَامِ وَقَدْ دَلَّ عَلَيْهِ الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَالْإِجْمَاعُ فَمَنْ خَالَفَ ذَلِكَ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ
Syaikh Ibnu Taimiyyah -rahimahullohu ta’aala- ditanya tentang Firman Alloh Swt, “Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS. An-Najm: 39) dan hadits “Ketika anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.” adakah kedua nash tersebut menunjukkan “jika seseorang telah meninggal maka tak sesuatupun sampai padanya dari perbuatan baik?”
Maka Syaikh Ibnu Taimiyah menjawab :
“Alhamdulillahi Robbil ‘Alamiin, Tidak ada ayat dan juga hadits (yang menyatakan) bahwa mayyit tidak beroleh kemanfaatan dari do’a makhluk dan juga dari amal kebaikan untuknya, bahkan para Imam umat Islam sepakat berolehnya manfaat bagi mayyit dengan itu semua, dan masalah ini adalah termasuk perkara yang diketahui dari islam secara pasti, dan sungguh al qur’an, as sunnah dan ijma’ telah menunjukkan itu semua. Maka barangsiapa menyelisi-hinya maka dia termasuk ahli bid’ah.” (Al Fatawwa Al Kubro, vol. 3 hal. 27)
Selanjutnya barang siapa beranggapan bahwa seseorang tidak beroleh kemanfaatan kecuali dari usahanya berdasar Firman Allah Swt, “Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39) dan hadits “Ketika anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.” Maka kami katakan: pendapat tersebut menyalahi Ijma’ dan merupakan pendapat yang bathil dengan beberapa alasan :
Pertama : Seseorang beroleh manfaat dari do’a orang lain
Kedua : Sesungguhnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam kelak akan memberi syafaat kepada Ahlil Mauqif disaat hisab, kemudian kepada ahlul jannah supaya segera masuk, selanjutnya kepada orang-orang yang menanggung dosa besar untuk dikeluarkan dari neraka, dan ini bukti kemanfaatan dari amal orang lain.
Ketiga : Setiap Nabi dan orang sholih, mereka memiliki hak dari Alloh untuk memberi syafaat, berarti orang yang beroleh syafaat dari mereka mendapat manfaat dari amal orang lain.
Keempat : Para malaikat senantiasa berdo’a dan memohonkan ampun untuk penduduk bumi, bererti para penduduk bumi mendapat manfaat dari amal orang lain.
Kelima : Alloh Ta’ala kelak akan mengeluarkan dari neraka orang-orang yang sama sekali tiada memiliki kebaikan, murni sebagai rahmat dari Alloh, ini berarti mereka mendapat manfaat bukan dari usaha mereka.
Keenam : Anak-anak orang-orang beriman yang meninggal sewaktu masih kecil akan masuk sorga karena amal orang tua mereka, berarti mereka mendapat manfaat dari amal orang lain.
Ketujuh : Alloh Ta’ala mengisahkan tentang dua anak yatim dalam al qur’an suroh al Kahfi ayat : 82, dimana kedua anak tersebut mendapat pertolongan Alloh melalui Nabi Hidhir as, berkat kesolihan kedua orang tuanya, berarti keduanya mendapat manfaat dari amal orang lain.
Kedelapan : Mayit mendapat manfaat dari sedekah dan memerdekakan budak berdasar ketetapan Sunnah dan Ijma’, berarti dia mendapat manfaat dari amal orang lain.
Kesembilan : Hajji yang wajib bisa gugur dari tanggungan si mati ketika dilaksa-nakan oleh walinya berdasar ketetapan sunnah, berarti dia mendapat manfaat dari amal orang lain.
Kesepuluh : Hajji yang di nadzari atau puasa yang di nadzari dapat gugur dari tanggungan si mati jika dilaksanakan oleh orang lain berdasar ketetapan as sunnah, berarti si mati mendapat manfaat dari amal orang lain.
Kesebelas : Seseorang yang meninggal dalam keadaan menanggung hutang, dimana Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam tidak berkenan mensholatinya hingga Abu Qotadah melunasi hutang orang tersebut, juga Sayyidina Ali bin Abi Tholib membayar hutang orang lain dalam kasus yang sama, hingga akhirnya Rosululloh saw berkenan mensholatinya, maka si mati tersebut mendapat kemanfaatan berupa disholati Rosululloh berkat amal orang lain.
Keduabelas : Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda untuk menolong orang yang sholat sendirian, beliau bersabda : “Adakah orang yang mau bersedekah untuk orang ini dan solat bersamanya?” maka orang yang sebelumnya solat sendirian tersebut mendapat fadhilah jama’ah berkat amal orang lain.
Ketigabelas : Sesungguhnya manusia bisa terbebas dari tanggungannya jika hakim memutuskan demikian, dan ini adalah kemanfaatan dari amal orang lain.
Keempatbelas : Seseorang yang semestinya mendapat tuntutan hukuman semisal qishosh, jika ahli warisnya memaafkan maka dia terbebas dari tuntutan tersebut, sekali lagi ini adalah kemanfaatan dari amal orang lain.
Kelimabelas : Kita memperoleh kemanfaatan dari tetangga yang solih, baik di kehidupan ini atau setelah kematian sebagaiman Sayyidina Umar –rodhiyallohu ‘anhu-, yang menginginkan untuk dimakamkan disisi Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam dan Sayyidina Abu Bakar –rodhiyallohu ‘anhu-, dan ini adalah manfaat dari amal orang lain.
Keenambelas : Seseorang yang duduk di majlis dzikir sedang ia tidak bermaksud untuk ikut berdzikir mendapat apa yang diperoleh oleh orang-orang yang berdzikir berdasar ketetapan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan Imam Bukhori [5929], dan ini adalah kemanfaatan dari amal orang lain.
Ketujuhbelas : Sholat mayit, dan berdo’a untuknya adalah amal yang dilakukan oleh orang yang masih hidup dan bermanfaat untuk mayit.
Kedelapanbelas : Sholat jum’ah hanya dapat dilaksanakan jama’ah dengan jumlah tertentu begitu juga jama’ah sholat yang lain, ini berarti antara sebagian manusia dengan sebagian yang lain saling memberi manfaat dan saling menerima manfaat dari yang lain.
Kesembilanbelas : Alloh Ta’ala berfirman kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam: “Dan Alloh sekali-sekali tidak akan mengadzab mereka, sedang kamu berada di antara mereka”(Al Anfal : 33) juga “Dan kalaulah tidak karena laki-laki yang mukmin dan perempuan-perempuan yang mukmin…” (Al Fath : 25) juga ayat “Seandainya Alloh tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini” (Al Baqoroh : 251). Sungguh Alloh telah menolak menurunkan adzab atas sebagian manusia dengan sebab sebagian yang lain, sekali lagi ini juga bukti adanya kemanfaatan selain dari yang diusahakan.
Keduapuluh : Zakat fitrah adalah kewajiban yang juga dibebankan atas anak kecil bahkan yang masih bayi, namun kewajiban tersebut gugur karena telah dilaksanakan oleh orang lain, berarti si anak tersebut beroleh manfaat bukan dari usahanya.
Keduapuluhsatu : Zakat wajib atas harta anak kecil juga orang gila dan mereka mendapat pahala jika kewajiban tersebut ada yang melaksanakan, berarti dia mendapat pahala bukan dari amalnya.
Sungguh jika kita mau memahami ilmu kita, niscaya akan kita dapatkan bukti yang tak terhitung betapa banyak dalil sampainya pahala, bahwa seseorang dapat beroleh manfaat dari amal orang lain. Wallohu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar